20 Maret 1978

Tina Borneo 78

Gerakan 20 Maret 1978

Media Belajar 16.10 |

Gerakan 20 Maret 1978 pada intinya merupakan suatu gerakan koreksi generasi muda dengan PANCATURA sebagai strategi perjuangannya. Pancatura berarti lima tuntutan rakyat, terdiri dari: 
1. Laksanakan Pancasila dan UUD 1945 dengan konsekwen; 
2. Tegakkan hukum dan demokrasi; 
3. Bentuk pemerintahan yang bersih; 
4. Ratakan pendapatan nasional; 
5. Jadikan pribumi sebagai tuan di negeri sendiri. 
Front Aksi Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Indonesia sebagai pencetus Gerakan 20 Maret 1978, mengabdikan dirinya bukan untuk kepentingan negara atau modal asing, serta gerakannya tidak dibiayai oleh kekuatan asing, bukan untuk menggulingkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi sebaliknya, Front Aksi mengabdikan diri berjuang bersama rakyat untuk kepentingan rakyat, yang sebagian besar bertambah melarat justru karena Pancasila dan UUD 1945 tidak dilaksanakan secara konsekwen. 
Keresahan masyarakat dan tuntutan-tuntutan generasi muda pada hakekatnya bersumber pada penolakan masyarakat terhadap kelompok mapan (statusquo), yang berusaha memusatkan dan melestarikan kekuasaannya dengan produk perundang-undangan yang seolah-olah konstitusional, padahal pada hakekatnya melanggar konstitusi (UUD 1945). 

Sebagai awal usaha kelompok mapan untuk melestarikan kekuasaannya ialah dengan cara menerapkan "sistem pengangkatan" maka MPR dijadikan sebagai alat yang bekerja dengan tata-cara formalitas demokratis. Lembaga ini sengaja dimandulkan justru karena kelompok mapan menghendakinya. 
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pra 1971, berhasil membuat Undang-undang Pemilu yang hasil dari pemilihan umum itu sendiri tergantung dari aktifitas aparat kekuasaan dalam memenangkan kelompok mapan. Ditambah lagi dengan hasil pengangkatan dengan demikian lembaga pembuat undang-undang ini secara formal materil terbentuk dan bekerja seolah-olah konstitusional. 

Kekhawatiran masyarakat bertambah setelah terdapat kecenderungan untuk memasung kebebasan mengeluarkan pendapat dan berserikat. Terjadinya pencabutan SIT (Surat Izin Terbit, kemudian namanya diganti menjadi SIUPP - Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) berbagai suratkabar, campur tangan kekuasaan terhadap persoalan intern partai-partai politik, pencampur-adukkan agama dengan kepercayaan, dan tindakan mencap setiap kritik sebagai usaha mendiskreditkan, bahkan melawan pemerintah. Hari demi hari semakin jauh terasa bahwa kita meninggalkan azas kedaulatan rakyat, mendekat ke sistem kekuasaan monolitik. Azas kesamaan hak bagi setiap warga-negara terkaburkan oleh hubungan patron-clients yang semakin menonjol. 

Pemilihan Umum 1971 dan GBHN yang disahkan MPR, membawa harapan baru bagi masyarakat. Masyarakat percaya bahwa pembangunan ekonomi yang menjadi fokus 
utama dalam GBHN, dapat mengantarkan sebagian besar warga negara dalam kedudukan ekonomi yang lebih baik, meskipun untuk itu mereka harus mengorbankan sebagian kebebasannya. 
Namun, pembangunan ekonomi yang semata-mata menitik-beratkan kepada pertumbuhan GNP (Gross National Product) dan stabilitas ekonomi, ternyata telah menciptakan sistem kapitalisme. Menyatunya sistem kapitalisme dengan kekuasaan monolitik telah melahirkan persekutuan penguasa-pengusaha yang mematikan usaha-usaha berazas kekeluargaan sebagaimana dikehendaki oleh UUD 1945 pasal 33. 
Sistem kapitalisme yang terus berlangsung itu, di satu pihak telah berhasil memperkokoh golongan ekonomi kuat yang sebagian besar terdiri golongan nonpribumi (cukong cina) dan pengusaha asing, dan di lain pihak mematikan usaha golongan ekonomi lemah yaitu kaum pribumi. 

Bersamaan dengan tumbuhnya feodalisme baru, sistem perekonomian kapitalis telah berhasil memenuhi kehausan kelompok mapan akan benda-benda simbol-status yang pada umumnya berupa benda-benda mewah yang tidak dibutuhkan rakyat banyak. Rakyat tetap dihadapkan pada masalah-masalah yang telah ada semenjak zaman penjajahan, yaitu kemiskinan, ketakutan, ketidak-pastian hukum, kurangnya lapangan kerja dan kekurangan pendidikan 
Persekutuan penguasa-pengusaha yang terjadi pada alam budaya feodal mengakibatkan kebocoran yang sangat parah pada dana-dana pembangunan dan tumbuhnya korupsi struktural berupa pemberian fasilitas-fasilitas istimewa kepada pengusaha--pengusaha yang menyediakan saham dan komisi bagi sanak-keluarga pejabat. 

Pasang surut kebocoran dana pembangunan terjadi pada saat krisis PERTAMINA. Krisis PERTAMINA seharusnya menyadarkan kelompok mapan bahwa roda perekonomian telah menyeleweng dari rel UUD 1945 dan GBHN, dan pola kehidupan mewah yang bertumpu pada korupsi dan pembocoran dana-dana tidak dapat dilanjutkan lagi. Namun hal ini tidak terjadi. Justru yang terjadi adalah kenekadan dari mereka untuk tetap mempertahankan kedudukannya. Penutupan persoalan hukum kasus-kasus penyelewengan dan korupsi PERTAMINA, Bulog, Palapa, dan penyelundupan, merupakan sedikit contoh hal tersebut. 

Dalam suasana yang demikian, masyarakat dihadapkan pada Pemilu 1977. Bangsa Indonesia yang terkenal sebagai bangsa pemaaf kembali menaruh harapan baru pada Pemilu 1977. Masyarakat berharap bahwa wakil-wakilnya yang terpilih dapat menyuarakan pendapatnya dan berfungsi sebagai alat kontrol yang efektif pada kerja eksekutif. Namun, untuk kesekian kalinya masyarakat merasa dikecewakan. UU Pemilihan Umum yang nyata-nyata  memenangkan kelompok mapan, masih ditopang oleh intimidasi dan teror pada pelaksanaannya. Protes segenap rakyat pemilih, terutama generasi muda, bergema di seluruh tanah air. 
Saya, bersama generasi muda Indonesia, bersama seluruh rakyat Indonesia menyaksikan kenyataan yang berlangsung dengan penuh keprihatinan. Dengan penuh kejujuran, kami generasi muda Indonesia menyerukan kepada semua pihak untuk kembali melaksanakan Pancasila dan UUD l 945 secara murni dan konsekwen. Dan karena landasan utama dari kehidupan bernegara adalah tanggung jawab dari setiap warga negara terhadap pelaksanaan kewajiban-kewajiban kemasyarakatannya, maka saya bersama para eksponen generasi muda Indonesia pada tanggal 5 Juli 1977 telah meminta kepada Presiden/mandataris MPR periode 
1973 - 1977 untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan GBHN dan Pemilu 1977 kepada MPR yang mengangkatnya. 

Meskipun tuntutan itu mencerminkan kehendak rakyat, pernyataan eksponen generasi muda tersebut sama nasibnya dengan Petisi 28 Oktober 1977 dari 61 Dewan Mahasiswa se Indonesia, tidak diindahkan dan tidak mendapat tanggapan. Tak dapat diingkari, bahwa yang nampak pada saat itu hanyalah upaya kelompok mapan yang dengan secara telanjang rnelestarikan kekuasaan, rneskipun tanpa landasan konstitusi dan pertimbangan akal sehat. 
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia telah mengantarkan kita kepada tahap dimana kesetiaan terhadap Pancasila dan UUD I945 sedang diuji. Kondisi politik-ekonomi-sosial seperti itu yang terjadi pada saat-saat sebelum timbulnya GERAKAN 20 MARET 1978. 

Pemasungan kebebasan mengeluarkan pendapat dan berserikat oleh kelompok mapan 
yang berkuasa, semakin ditingkatkan. Kebebasan mimbar dalam kampus mendapat 
bermacam hambatan. Dengan memperalat kekuatan ABRI kelompok mapan demi tetap 
melestarikan kekuasaan, menduduki kampus-kampus dengan sewenang-wenang. 
Fungsionaris Dewan dan Senat Mahasiswa se Indonesia ditangkap dan ditahan. 
Harapan generasi muda dan rakyat lndonesia akan tegaknya kembali azas 
kedaulatan rakyat semakin hari semakin memudar. Kelompok mapan melalui Golkar 
memaksakan dimasukkannya aliran kepercayaan dan KNPI ke dalam GBHN. Seluruh 
kekuatan Islam yang berorganisasi telah menyatakan tekadnya untuk menentang 
aliran kepercayaan masuk ke dalam GBHN. Seluruh organisasi pemuda dan 
mahasiswa ekstra universiter maupun Dewan dan Senat Mahasiswa se Indonesia 
menyatakan tekadnya untuk menentang KNPI masuk ke dalam GBNN. 
Dengan kekuasaan formal di tangannya, kelompok mapan bahkan memamerkan 
ketelanjangannya dalam upaya melestarikan kekuasaan dengan tidak memperdulikan 
tantangan generasi muda dan ummat Islam yang terorganisasi dalam masalah KNPI 
dan aliran kepercayaan. Pameran kekuasaan ditonjolkan kelompok mapan dengan 
memperalat kekuatan ABRI dalam mengamankan Sidang Umum MPR dari semua oposisi. 
Panglima Besar Jenderal Sudinnan pernah berpesan: "Ingatlah kepada firman 
Tuhan: 'Janganlah kamu merasa rendah, jangan kamu bersusah-hati, sedang kamu 
sesungguhnya lebih tinggi jika kamu mukmin!' Janji sudah kita dengungkan, 
tekad sudah kita tanam. Semua ini tidak akan bermanfaat bagi tanah air kita, 
apabila janji dan tekad itu kita tidak amalkan dengan amalan yang nyata." 
Kesemua keresahan ini menimbulkan tekad sekelompok generasi muda, yaitu 
pemuda, pelajar, dan mahasiswa, untuk segera membentuk wadah: FRONT AKSI 
PEMUDA, PELAJAR, DAN MAHASISWA (FAPPMI). Wadah ini adalah wadah spontanitas generasi muda untuk secara spontan bersama turun ke jalan menunjukkan tekad 
generasi muda kepada rakyat, kepada wakil-wakil rakyat anggota MPR, serta 
sekaligus kepada penguasa Republik ini bahwa Front Aksi menentang masuknya 
aliran kepercayaan dan KNPI ke dalam GBHN seperti telah direncanakan Golkar, 
serta menyampaikan PANCATURA sebagai strategi perjuangannya. 
Gerakan 20 Maret 1978 itu membawa aspirasi yang berkembang di masyarakat dan 
generasi muda pada umumnya tentang harapan-harapan bernegara sesuai dengan 
kaidah Pancasila yang seharusnya serta sebab-sebab keresahan yang terjadi di 
masyarakat. 

Gerakan 20 Maret 1978 adalah manifestasi reaksi spontan generasi muda atas 
tindakan kelompok mapan yang memegang kekuasaan, karena telah menyeleweng dari 
semangat sesungguhnya dari Pancasila dan UUD 1945. Gerakan 20 Maret 1978 
hanyalah merupakan salah satu saja dari banyak aksi koreksi generasi muda yang 
terdapat di seluruh tanah air, terhadap perkosaan kepada Amanat Penderitaan 
Rakyat yaitu koreksi haluan perjuangan untuk kembali mengamalkan Pancasila dan 
UUD 1945 secara murni dan konsekwen. 

0 komentar:

Ads 468x60px

Featured Posts